Memposting pre-print berarti melakukan self-plagiarism (?)
Dalam dua minggu ini, saya diberi kesempatan untuk memberikan informasi mengenai pengarsipan mandiri di dua acara yang berbeda. Yang pertama, adalah workshop yang diselenggarakan oleh Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia (JAKI) dan yang kedua, sebagai sesi selingan di acara workshop menulis tulisan populer dari The Conversation Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan soal definisi pre-print, post-print, dan masa embargo, sekaligus pentingnya mengarsipkan karya kita secara mandiri.
Materi tersebut dapat diunduh disini. Materi saya buat dalam RMarkdown dengan menggunakan package xaringan
dan kodenya dapat diakses disini. Rekamannya saya unggah di YouTube dan bisa diakses disini. Semuanya berlisensi CC0 (public domain).
Yang menarik dari respon peserta adalah miskonsepsi bahwa; (1) memposting pre-print adalah bentuk duplikasi karya/self-plagiarism; dan (2) karya yang bisa diakses terbuka sama dengan karya yang dipublikasi. Pertanyaan ini selalu muncul ketika saya mencoba mengajak peneliti lainnya untuk mengarsipkan karyanya secara mandiri.
Sumber: https://www.aje.com/arc/benefits-of-preprints-for-researchers/Nah, berikut adalah beberapa penjelasan mengapa pre dan post-print bukan termasuk karya yang terpublikasi, sehingga anda tetap bisa memposting pre/post-print dan mempublikasikan naskah tersebut di jurnal ilmiah.
Terpublikasi ? dapat diakses terbukaPerbedaan antara dokumen yang diunggah di repositori (pre/post-print, laporan tugas akhir — skripsi, tesis, dan disertasi, ataupun naskah-naskah lainnya) dengan dokumen yang diterbitkan oleh jurnal ilmiah terletak pada peran penerbit (publisher).
Karya yang terpublikasi adalah karya yang diterbitkan oleh penerbit sebagai pihak ketiga (diluar penulis, reviewer, dan penyunting) yang berkontribusi secara tidak langsung pada substansi naskah (menata letak, mencetak, menyimpan, dan mendistribusikan naskah). Batasannya jelas: ada/tidaknya ISSN/ISBN, karena nomor seri ISSN/ISBN melekat pada outlet tertentu yang dikelola oleh penerbit. ISSN/ISBN tidak mungkin diberikan pada individu/penulis.
Karya yang dipublikasi belum tentu bisa diakses secara terbuka. Tentu kita familiar dengan paywalled journal yang berbasis langganan. Hanya pengguna yang mampu membayar biaya langganan yang dapat mengakses naskah yang terbit di paywalled journal.
Sedangkan naskah yang diunggah di repositori, diarsipkan sendiri oleh penulis dan tidak melibatkan penerbit sama sekali. Oleh karena itu, meskipun naskah di repositori dapat diakses secara terbuka dan mendapatkan digital object identifier (DOI), naskah tersebut tidak dapat dikatakan/digolongkan sebagai karya yang terpublikasi.
Pre/post-print ? self-plagiarism/duplikasiYang jadi masalah adalah ketika redaksi jurnal melakukan pemeriksaan kemiripan naskah dengan menggunakan perangkat lunak tertentu, lalu menemukan bahwa naskah yang dikirim sangat mirip dengan yang diunggah sebagai pre-print (ya iyalah…????????).
Hal ini makin problematik ketika pengelola jurnal (atau Tim PAK — kalau urusannya berkaitan dengan kenaikan pangkat) menerjemahkan mentah-mentah similarity index sebagai plagiarism severity. Padahal, saya yakin kalau pembuat perangkat lunaknya tahu alatnya digunakan dengan cara seperti itu, dia mungkin akan pingsan karena kaget????
Please repeat after me….
Pre/post-print bukan karya yang terpublikasi, seharusnya tidak ada masalah kalau akan diterbitkan di jurnal ilmiah.Masih belum yakin? Tidak apa-apa. Saya coba pakai argumentasi yang lain ya.
Berikut adalah kebijakan pengarsipan tiga jurnal besar, yaitu; Science, Nature, dan the Lancet yang saya akses melalui direktori SHERPA/RoMEO. Kalau informasi ini (dianggap penting), ketiga jurnal ini punya journal impact factor yang sangat besar (Science — 37.20, Nature — 41.57, dan the Lancet — 59.102).
Kebijakan Pengarsipan Science. Sumber http://sherpa.ac.uk/romeo/, diakses pada tanggal yang sama dengan diterbitkannya tulisan ini. Kebijakan Pengarsipan Nature. Sumber http://sherpa.ac.uk/romeo/, diakses pada tanggal yang sama dengan diterbitkannya tulisan ini. Kebijakan Pengarsipan the Lancet. Sumber http://sherpa.ac.uk/romeo/, diakses pada tanggal yang sama dengan diterbitkannya tulisan ini.…dan ketiganya membolehkan penulis mengarsipkan karyanya dalam bentuk pre/post-print (meskipun Nature membolehkan post-print dengan batasan tertentu).
Sekarang mari kita renungkan, kalau seandainya mengarsipkan pre/post-print adalah bentuk self-plagiarism atau duplikasi, apakah mungkin jurnal-jurnal besar ini ‘membolehkan’ penulisnya untuk melakukan self-plagiarism?
NB: Baca tulisan saya yang lain tentang kredibilitas pre-print dan pre-print server dengan mengklik tautan ini.
Oleh: Rizqy Amelia Zein